Cerpen Sedih: Lotre Ini Untuk Kanza
Lotre Ini Untuk Kanza
Karya: Kharisma Aulia Febriani
“GOALLL!!!” suara riuh
orang-orang di tepi lapangan itu memekakkan telinga. Mereka bersorak karena tim
jagoan kampungnya memenangkan pertandingan sepak bola sore ini. Aku dan
teman-temanku langsung berpelukan, merasa bangga satu sama lain. Bukannya
apa-apa, kampung kami selalu disudutkan oleh pihak lawan. Kami ibarat kerikil
jalan yang tidak berguna.
Aku mengelap keringatku dengan
kaus yang kulepas. Badanku makin gelap karena tadi kepanasan. Kakiku juga penuh
debu tanah lapangan. Pokoknya, penampilanku sangat tak keruan. “Met, itu adik
kau cari!” Bagas menepuk bahuku. Aku mengangguk, lantas menemui adikku.
“Bang Ahmet,” pandanganku tertuju
pada anak usia lima tahun di seberang sana. Dia adikku, namanya Kanza.
“Ini Kanza bawain rantang buat
Bang Ahmet,” Kanza menyerahkan rantang tiga tingkat padaku.
“Terima kasih,” ucapku menerima
rantang itu. Kanza mengangguk sambil tersenyum. “Iya, Bang. Sama-sama. Kanza
pulang dulu, ya, Bang,” Kanza lantas pergi. Kulihat ia berjalan terseok dengan
tongkat kayu bentuk kruk yang ia apit di ketiak.
Aku sendiri yang melihatnya
merasa iba. Kanza masih kecil, namun ia sudah tak sempurna. Kanza terlahir
cacat tanpa satu kaki. Namun begitu, ia bukan anak yang sering mengeluh. Kanza
anak yang kuat.
Selepas kepergian Kanza, aku pun
menemui teman-temanku yang tengah rehat di lapangan. Aku membagikan makanan
yang di bawa Kanza tadi. Namun, tak lama kemudian seseorang menghampiriku
dengan raut panik.
“Ahmet, adikmu Kanza,” orang itu
berujar. Aku yang mendengar nama Kanza pun langsung bangun. “Kanza kenapa?”
tanyaku penasaran.
“Kanza….Kanza….kecelakan.”
DEG.
“Di—dia di mana sekarang?”
“Rumah sakit, Met.”
“GARA-GARA BOLAMU ITU, MET, KANZA
JADI TIDAK SADARKAN DIRI!!” Emakku meracau diikuti tangis. Sejak mendengar
kabar Kanza, aku langsung pergi ke rumah sakit. Dan berakhir disalahkan seperti
ini.
“Sudah, Mak, sudah. Ini mungkin
sudah takdir Allah. Jangan menyalahkan Ahmet,” Abah menenangkan Emak.
“Dengan keluarga Kanza?” tak lama
kemudian, seorang dokter keluar dari ruangan Kanza. Aku pun segera mengacungkan
tangan. “Saya, Dok.” Kataku, yang kemudian diajak menuju ruangannya.
Setelah keluar dari ruangan
dokter itu, aku hancur sehancur-hancurnya. Kanza
mengalami pendarahan di bagian otak. Oleh karena itu, Kanza harus segera di
operasi. DEG. Pernyataan dokter itu terus menghantui pikiranku. Operasi?
Uang dari mana?
“Apa, Le, kata dokter?” Abah menanyaiku. Aku diam. Duduk di kursi tunggu
dengan wajah kusut. “Met, dokter bilang apa?” Emakku ikut bertanya.
Aku menghela napas panjang.
Kepalaku menunduk, tak berani menatap wajah orang tuaku. “Kanza harus di
operasi. Ada pendarahan di otaknya.”
Bagai mimpi buruk yang terwujud,
Emak kembali menangis. Kali ini lebih kencang dari yang sebelumnya. “Kita dapat
uang dari mana, Bah? Dari mana?”
Akibat shock berat, Emakku
pingsan. Beliau kini ikut terkapar di rumah sakit. Membuatku makin merasa
bersalah. Di jalan ini, jalan kosong dan sunyi, aku berjalan. Menunduk.
Padahal, malam ini hujan. Tapi, itu tak mempengaruhiku untuk tetap melangkah.
Entahlah, aku harus mencari jalan penyelesaiannya. Lantas, bagaimana?
“Lotre, lotre! Menang lotre bisa
dapat 25 juta. Ayo yang mau ikut, yang mau ikut!!” kepalaku menoleh, saat suara
seorang bapak-bapak itu mengiming-imingi 25 juta rupiah. Aku pun
menghampirinya.
“Mas mau ikut?” tanya bapak itu.
“Ini cara mainnya gimana? Ini
abal-abal atau enggak?” tanyaku beruntun. Bapak itu terkekeh. “Oh, gampang,
Mas. Mas tinggal tebak angka yang ada di dalam koper ini,” ia menunjukkan
brosur sebuah perusahaan.
“Ini juga asli, Mas. Dua hari
lagi di undi loh,” imbuh bapak itu.
Aku diam. Menimang-nimang tawaran
bapak itu. Aku butuh uangnya untuk biaya Kanza, tapi kenapa waktunya dua hari?
Apakah itu tidak kelamaan?
“Mas, jadi nggak? Cukup bayar dua
ribu aja buat beli kuponnya, Mas. Siapa tahu, Mas, beruntung. Kesempatan enggak
datang dua kali, Mas,” bapak itu mengompori.
Kalau
hanya ini jalan satu-satunya, ya sudahlah. Demi Kanza, Ya Allah. Kuatkan dia
sementara. Setelah mantap dengan hati, aku mengeluarkan uang dua ribu
dan menyerahkannya pada bapak itu. “Nah, mantap, Mas. Ini kuponnya, silakan
diisi.” Giliran bapak itu menyerahkan kupon putih berstempel merah dan bolpoin
padaku.
Aku lantas bergumam dengan
batinku. Tangan kananku sudah memegang bolpoin. Dan tiba-tiba memoriku jatuh
pada Kanza. Adikku yang sangat aku sayangi. Dia tersenyum padaku, senyum yang
meneduhkan.
0107015. Aku menatap kertas undi itu, kemudian tersenyum senang. Nomor itu adalah tanggal kelahiran Kanza. Dan saat itulah dia membuat keluargaku merasa gembira, sekaligus sedih beriringan.ditulis, kan?” tanya bapak itu mengecek.
“Udah.”
Satu hari sudah berlalu. Tepat
pukul dua ini, aku solat tahajud. Memohon agar lotre yang aku mainkan itu
berhasil supaya Kanza bisa di operasi. Selesai solat, aku pun melipat sajadah,
dan menetap di atas tikar bambu sambil menunggu acara lotre itu. Kata bapak
itu, acaranya di mulai pukul tiga. Aku tahu ini masih terlalu awal. Tapi tak
apa, demi Kanza aku rela.
Setelah hampir sejam menunggu,
akhirnya acara itu telah siaran. Aku menajamkan mataku, telinga, dan doa. “Nah,
untuk pemenang lotre kali ini adalah….”
DUG. DUG. DUG. DUG. Jantungku
berdegup kencang. “DAN PEMENANGNYA ADALAH…..AHMET ZAIFFUDIN DARI KAMPUNG BALAK.
SELAMATTT!!!”
Aku? Itu namaku. Jadi, aku
menang?
“SELAMAT AHMET, TEBAKANMU BENAR.
HADIAH 25 JUTA AKAN KAMI KIRIM!!!” tidakkah sedang bermimpi aku?
“Ya Allah…terima kasih Ya Allah…”
aku bersujud di lantai rumahku yang masih tanah. “Terima kasih atas kehendak-Mu. Kanza bisa di
operasi hari ini…”
Aku berlari cepat di lorong rumah
sakit. Merasa tak sabar menyerahkan uangku ini untuk operasi Kanza. Juga tak
sabar akan mengabarkan berita bahagia ini pada Emak dan Abah.
“Emak, Abah, Ahmet sudah dapat
uangnya,” ucapku. Abah menoleh, sambil memeluk Emak yang tangisnya pecah.
“Udah terlambat, Met. Kanza sudah
tiada.”
DEG! Senyumku yang semula
mengembang itu, perlahan turun. Kakiku pun lemas sekali, tak kuasa menahan
beban diri. “A—apa? Kan—Kanza meninggal?” ucapku terbata.
Abah mengangguk lemah. Kelopak matanya pun membendung sebuah genangan. “Iya. Kanza sudah pergi, Met. Dia menemui Allah.”
Nah, gimana nih, Gaes? Seberapa greget nih kalian membacanya? Sekiranya, cukup sekian dulu ya contoh cerpennya. Risma akan post contoh cerpen lainnya di blog selanjutnya oke? Bye-bye! See you next time!!
Sangat senang jika kalian mengunjungi Risma di:
Instagram: rizrismaa
Wattpad: rizrisma

Komentar
Posting Komentar